TRANSFORMASI PENGETAHUAN LOKAL DALAM SISTEM PELAYARAN DAN PENANGKAPAN HASIL LAUT NELAYAN PESISIR TUBO SENDANA MAJENE SUKU MANDAR

 Tubo Sendana Majene Suku Mandar, sebuah kecamatan di Majene Sulawesi Barat, Indonesia, memiliki potensi sumber daya laut yang sangat besar. Pengetahuan masyarakat setempat tentang pengelolaan sumber daya laut sangat penting untuk mengembangkan strategi pengelolaan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Transformasi pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumber daya laut adalah bagian penting dari budaya maritim yang dimiliki oleh masyarakat Tubo Sendana Suku Mandar. Masyarakat nelayan Tubo Sendana Majene, Suku Mandar memiliki tradisi dalam mengelola sumber daya laut, terutama dalam teknologi pelayaran dan penangkapan ikan. Dalam penelitian ini, kita akan membahas bagaimana pengetahuan lokal dan transformasinya ini digunakan dalam pengelolaan sumber daya laut dengan tantangan-tantangan apa sebelum melaut.

 

Suku Mandar dikenal sebagai salah satu suku bangsa (etnis) yang mendiami wilayah di sepanjang pantai Barat pulau Sulawesi, mulai dari daerah Paku (perbatasan Kabupaten Pinrang dengan Kabupaten Polman) hingga Surimana (perbatasan Kabupaten Mamuju Utara dengan Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah). Bentang wilayah tersebut sekarang ini telah berdiri sendiri sebagai satu provinsi, Sulawesi Barat, yang sebelumnya merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan (Ismail, 2007). Menyebutkan bahwa orang Mandar adalah mereka yang menempati wilayah pesisir dan pegunungan di sebelah barat (Pulau Sulawesi). Orang Mandar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni mereka yang hidup di kampung-kampung, pegunungan, yang secara kolektif disebut Pitu Ulunna Salo’ dan mereka yang hidup atau tinggal di pesisir, yang berada di bawah konfederasi Pitu Ba’bana Binanga (Andaya, 2004). Letak daerah tersebut menjadi saling terintegrasi dengan sistem kearifan lokal masyarakat setempat secara turun-temurun. Seperti sistem kebudayaan dalam berlayar dan menangkap hasil laut dengan menggunakan sandeq sebagai sebuah perahu andalan.

Salah satu bagian dari suku Mandar yang konsisten memanfaatkan sandeq sebagai bagian dari kearifan lokal dalam pelayaran dan penangkapan adalah wilayah pesisir Majene. Menurut (Ong, 1982) Kearifan lokal Suku Mandar diwujudkan dalam tradisi bergenre lisan dalam berbagai cerita kompleks yang tidak hanya berisi narasi, tetapi juga nasihat praktis yang menyangkut siklus hidup suatu masyarakat dan cara hidupnya. Beberapa bentuk ekspresi yang berbeda-beda biasanya disebut varian dan versi dalam tradisi lisan, misalnya hasil pengetahuan lokal, sistem nilai, kepercayaan tradisional (kepercayaan lokal), silsilah, hukum adat, pengobatan, dan keyakinan agama, astrologi, dan upaya artistik lainnya. Penting juga untuk diingat bahwa titik awal penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi tradisi lokal yang bersifat lisan, yang dianggap sebagai peristiwa budaya atau bentuk budaya yang diciptakan kembali (Hobsbawm dan Ranger, 1983). dari warisan intangible tersebut masyarakat Mandar pada umumnya dan Sendana Majene pada khususnya telah mengalami transformasi dalam memanfaatkan pengelolaan sumber daya laut dengan berbasiskan pengetahuan lokal yang telah menginternalisasi dalam penghidupan mereka sehari-hari.

Sistem Pengetahuan Lokal terhadap Simbol Kelautan

Cerita dari pengalaman-pengalaman itu berpengaruh secara psikologis dan membentuk suatu kepercayaan tersendiri. Keyakinan akan adanya dunia gaib yang di dalamnya hidup makhluk halus, sebagai penguasa dan sering melakukan ekspansi ke dunia nyata, menuntut kepada penghuni dunia nyata, khususnya para nelayan untuk menyahutinya. Bentuk sahutan yang dimaksud adalah suatu perlakuan khusus, baik ketika berada di darat (sebelum turun ke laut) maupun ketika sedang berada di laut (Geertz, 1992). Para nelayan memiliki pengetahuan tentang paissangang posasiang (ilmu kelautan). Selain sebagai keterampilan, dimaksudkan juga sebagai media komunikasi dalam rangka menjalin keharmonisan hubungan dengan dimensi lain dari alam. Jalinan hubungan tersebut juga merupakan sarana antara dalam memanfaatkan potensi alam guna memenuhi kebutuhan hidup para nelayan.  Pengetahuan kelautan atau yang dikenal di Mandar dengan Paissangang Posasiang adalah suatu hal mutlak yang harus diketahui oleh seseorang yang menjadi nahkoda karena dengan penguasaan pengetahuan tersebut berarti bisa melayarkan suatu armada laut.

Selain itu pengetahuan warisan turun-temurun dalam pelayaran yang penting bagi nelayan yang dimaksudkan adalah pengetahuan tentang bagaimana perahu dijalankan atau dilayarkan dan bagaimana ketika berada di lautan. Hampir semua nelayan (awak) bisa melayarkan atau mengemudikan perahu, tetapi tidak semua hal tentang pelayaran diketahui oleh para nelayan. Pengetahuan pelayaran mengandung pengetahuan tentang berbagai hal yang berhubungan dengan laut, pelayaran, cuaca dan sebagainya.

Upaya memperoleh pengetahuan kenelayanan memerlukan proses tersendiri, dimulai dari perlakuan-perlakuan sakral ketika akan turun ke laut, begitu pula saat di laut, terutama ketika berhadapan dengan hal-hal yang membahayakan. Dalam tradisi nelayan Sendana Majene, ada dua simbol yang digunakan ketika mengarungi laut luas

a.    Simbol alam sebagai fungsi

Nelayan Mandar mengenal beberapa tanda-tanda alam, baik yang ada di laut (gelombang/ombak, arah angin dan arus air), di daratan (gunung, tanjung, gurun, dan tanda-tanda tertentu) maupun yang ada di langit (awan, bintang-bintang, bulan, dan matahari). Tanda-tanda alam tersebut dijadikan sebagai petunjuk atau pedoman dalam menentukan posisi dan arah perahu/kapal. Terutama ketika sedang berlayar (berada di laut), agar pelayaran tetap stabil dan terhindar dari gangguan yang bisa mengakibatkan kecelakaan.  Pengetahuan ilmu gaib yang dimaksudkan di sini adalah menyangkut cara menyambungkan keinginan kepada yang gaib, terutama yang bermotif keselamatan dan juga yang bermotifkan penambahan rezeki oleh pole’bo/posasiq. Dilihat dari sisi motif-motifnya, maka pengetahuan tersebut adalah pengetahuan ilmu gaib bermotifkan keselamatan dan  pengetahuan ilmu gaib bermotifkan rezeki namun seiring perkembangan zaman masyarakat nelayan Sendana Majene suku Mandar sudah memanfaatkan teknologi untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya laut

 

1)     Gunung  hingga mereka tidak melihat lagi gunung dari kejauhan. Ketika sudah menuju ke tengah laut dan menemukan arus, Bagi nelayan yang melakukan operasi penangkapan hasil laut akan melakukan prosesi Kulliwa dan cenderung menandai bulan 4 sampai 6 sebagai puncak hasil laut. Mereka sudah memasang indicator lampu yang dipasang sedikit menjorok ketengah laut sebagai penanda pulang setelah gunung/bukit. Juga telah memanfaatkan gps untuk lebih mempermudah jalannya selain perbintangan yang cenderung dipakai pada nelayan punggawa dan sawi.

2)     yang sering mengancam keselamatan nelayan di laut adalah “angin ttara”. Sebelum datangnya angin tersebut ada tanda-tanda mendahului, seperti ada awan menggumpal berwarna hitam, biasa disertai dengan hujan deras (Indo jura). Jadi nelayan bisa bersiap-siap menghadapinya. Kemunculan laso anging (beliung) juga dapat terjadi dengan cepat, namun dari kejauhan sudah dapat diketahui. Tanda-tandanya yaitu angin kencang, udara mendung kelihatan hitam, dari jauh tampak ombak menggumpal menghambur ke atas, bagaikan air mancur di tengah kolam.

b.   Simbol perilaku hewan di laut

1)     laron merupakan binatang laut yang apabila banyak bergerombol ditandai sebagai adanya ikan berkumpul dibawahnya.

2)     paus jika ada yang mendekat ke perahu tidak dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai penarik rezeki (pamani dalle)

Kalau semuanya sudah rampung dan dianggap sudah cukup, para nelayan Sendana biasanya sudah tidak tinggal berlama-lama di laut karena sudah menggunakan sandek dengan teknologi katinting yang semakin lincah sehingga sudah tidak bergantungan pada sistem ponggawa, jika tangkapan hasil laut seperti taripang, tawalla, tuing-tuing, cumi, uringang, mosirung, tappilalang, batu yang dibawah ke pasar tradisional sudah habis atau selesai dipasarkan, maka para nelayan dapat menikmati uangnya tanpa harus melalui bandar. Hasil produksi yang diperoleh setiap nelayan jumlahnya tidak tetap dalam setiap musim, tergantung pada banyak-tidaknya hasil yang diperoleh.

Pengetahuan Teknis Pelayaran dan Pantangan Selama di Laut

Pengetahuan teknis keperahuan bagi nelayan merupakan pengetahuan dasar yang harus dimiliki terutama bagi para pemula yang akan menekuni kehidupan laut. Pengetahuan keperahuan menyangkut perahu itu sendiri, yaitu nama dari bagian-bagian perahu, fungsi-fungsinya dan bagaimana menggunakannya. Dengan mengetahui hal tersebut dimaksudkan supaya nelayan akrab dengan dunianya dan tahu bagaimana ia harus berbuat ketika berada di perahu. Pengetahuan keperahuan ini seharusnya diketahui sebelum seseorang menjadi nelayan. Pada umumnya nelayan pesisir Sendana yang sudah tidak bergantungan pada sistem ponggawa-sawi cenderung menggunakan keterampilannya untuk berlayar dengan maksimal dua orang dengan masing-masing perahu sandeq kecil dan lincah yang digunakan dalam penangkapan hasil laut yang dianggap lebih fleksibel.

Para nelayan menggangap lautan sebagai sesuatu yang sakral dan penuh kemisteriusan. Anggapan ini didasarkan pada pengalaman banyak orang. Walaupun pengalaman itu berbeda-beda, namun terdapat kesamaan yaitu adanya kemisteriusan dan kesakralan. Semua nelayan mengetahui hal ini dan tidak seorang dari mereka yang mengingkarinya. Kesakralan dan kemisteriusan tersebut diyakini sebagai sesuatu yang datang dari luar jangkauannya. Mereka juga yakin bahwa dari kemisteriusan dan kesakralan itu, tentu ada hal-hal yang menjadi penawarnya, dalam arti perilaku atau bacaan-bacaan (mantra-mantra) yang pernah dipraktekkan oleh para pendahulunya dapat menjadi penawar, termasuk di dalamnya pemali-pemali yang diartikan sebagai pantangan.

 Pada komunitas nelayan pesisir Sendana Majene Suku Mandar dikenal beberapa jenis pemali atau pantang untuk para nelayan, Menurut Papa Ku’ding dalam (Idrus dan Ridwan, 2020) yakni: 1) Ketika sedang berlayar tidak diperbolehkan secara langsung mencuci peralatan dapur dan peralatan tidur di air laut. 2) Dilarang mematikan api dapur langsung mencelup ke air laut. 3) Dilarang membuang nasi atau sisa-sisa makanan ke dalam air laut tanpa permisi terlebih dahulu kepada penjaga laut. 4) Dilarang berbicara kotor, berbicara bohong, memfitnah orang lain dan tidak boleh bertengkar sesama sawi. 5) Dilarang menyebut langsung nama binatang laut, seperti buaya disebut to dziwai (yang di air), tuing-tuing disebut mara’dia (raja) atau tomanurung. Sebutan terakhir ini dianggap bahwa ikan tuing-tuing berasal dari atas (Tuhan), kemudian diturunkan ke bawah, makanya disebut to manurung. 6) Dilarang menyebut katakata yang mengarah ke pesimistik atau suatu keluhan, misalnya saya merasa capek. 7) Dilarang kencing, buang air besar, meludah dan mengayunkan kaki ke laut ketika lewat pada tempat tertentu yang dianggap keramat.  

Pemali-pemali tersebut di atas sudah menjadi pemahaman umum bagi nelayan Mandar juga menurut Amriadi tidak boleh mengucapkan kata-kata hewan darat bila berada ditengah laut. Sehingga harus hati-hati dalam berperilaku dan berkata-kata. Mereka menjaga perkataaan dan perbuatannya setiap saat, karena apabila pemali-pemali tersebut dilanggar, maka kemungkinan bahaya yang akan menimpa lebih besar. 


Sebelum berlayar ada prosesi ritual yang dilaksanakan oleh nelayan pesisir suku Mandar pada umumnya dan Sendana Majene pada khususnya yakni acara makkuliwa/ bacaan-bacaan khusus dalam proses berlayar mulai dari menurunkan perahu/kapal dan memberangkatkannya, saat dilaut, sampai saat kembali di daratan. Selain itu, ada pantangan yang tidak boleh dilanggar yang diistilahkan sebaga pemali, dimana jika hal ini dilanggar dapat membahayakan diri dan keluarganya. Pengetahuan kelautan atau yang dikenal di Mandar dengan Paissangang Posasiang adalah suatu hal mutlak yang harus diketahui oleh seseorang yang menjadi pale’bo/posasiq meskipun tetap mengadopsi teknologi modern dalam transformasi pelayaran dan penangkapan untuk mempermudah pengelolaan sumber daya laut yang ada. Karena dengan penguasaan pengetahuan tersebut berarti bisa melayarkan suatu perahu dengan syarat memiliki pengetahuan teknik keperahuan, pengetahuan pelayaran, pengetahuan ilmu dimensi alam lainnya. 

 


Rujukan

Andaya, Y. L. (2004). Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17 edisi Indonesia (1st ed.). Ininnawa.

Geertz, C. (1992). Kebudayaan dan Agama. Kanisius Press.

Hobsbawm, E., & Ranger, T. (1983). Invented of Tradition. Cambridge University Press.

Ismail, A. (2007). Religi Manusia Nelayan Masyarakat Mandar (1st ed.). CV. Indobis.

Ong, W. . (1982). Orality and Literacy: The Technologizing of the Word. Methuen.

Idrus, L., & Ridhwan. (2020). Islam Dan Kearifan Lokal: Belajar Dari Kearifan Tradisi Melaut Suku Mandar. Jurnal Kependidikan Didaktika 14(1), 79–978.