Benarkah BPIP Paham Urgensi Pancasilais?

   Kasus pelarangan jilbab yang menimpa purna paskibraka muslimah Indonesia beberapa waktu lalu telah memicu perdebatan sengit di ranah publik. Isu ini menyentuh sensitivitas agama, budaya, dan hak asasi manusia, serta mengungkap dilema mendasar dalam upaya menjaga keseimbangan antara identitas dan toleransi dalam konteks negara yang pluralis seperti Indonesia.

  Indonesia sebagai negara dengan keragaman agama dan budaya yang kaya memiliki sejarah panjang dalam mengakomodasi perbedaan. Prinsip Bhineka Tunggal Ika menjadi landasan utama dalam menyatukan keberagaman ini.

  Penggunaan jilbab bagi muslimah merupakan bagian integral dari identitas keagamaan dan budaya mereka. Pelarangannya berpotensi menyakiti perasaan dan melanggar hak atas kebebasan beragama. Di satu sisi, terdapat nilai-nilai kebangsaan dan kesatuan yang diusung oleh lembaga seperti BPIP. Aturan berpakaian yang seragam dianggap sebagai simbol kesatuan dan netralitas. Di sisi lain, terdapat nilai-nilai agama dan kebebasan beragama yang dilindungi oleh konstitusi. Pelarangan jilbab dengan dalih tak ada pemaksaan dan hanya sekali saat pengukuhan ini seolah-olah menciptakan konflik antara kedua nilai tersebut. Jilbab bagi banyak muslimah bukan hanya sekadar pakaian, melainkan simbol identitas dan ekspresi keimanan, di sosial media telah beredar salah satu curahan hati anggota paskibra yang harus meminta izin melepas jilbab langsung ke makam ayahnya. Membela negara haruskah sedilematis ini?. Lantas, apakah itu artinya mereka tidak keberatan jika harus melepaskan jilbab sebagai penutup auratnya?. Seharusnya, bapak-bapak BPIP lebih paham terhadap hal ini sebab diberikan mandat untuk mengetahui betul nilai-nilai yang dikandung Pancasila setiap butirnya, utamanya sila pertama sebagai landasan utama. Atau jangan-jangan Pancasila selama ini memang sarat akan kepentingan elit tertentu? Dengan BPIP apakah credo agama dan Pancasila itu hadir dengan kesan versus atau menohoknya (islamophobia). Sejak didirikannya, lembaga BPIP seolah telah banyak melukai perasaan umat beragama. Penetapan aturan yang cenderung ‘kandang paksa’ bak simalakama dapat ditafsirkan sebagai bentuk pemaksaan untuk meninggalkan sebagian dari identitas diri. Dalam konteks negara yang beragam seperti Indonesia, toleransi antarumat beragama seharusnya menjadi prinsip utama. Pelarangan jilbab dapat ditafsirkan sebagai bentuk intoleransi terhadap kelompok agama tertentu. Setiap individu memiliki hak untuk beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya. Pelarangan jilbab dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Jika mengambil sudut pandang salah satu tokoh feminisme, Simone de Beaovoir misalnya akan beranggapan bahwa pelarangan jilbab dapat dianggap sebagai bentuk kontrol terhadap tubuh perempuan dan ekspresi identitasnya (subordinasi).

Polarisasi

   Isu ini berpotensi memicu polarisasi di masyarakat, terutama antara kelompok yang pro dan kontra terhadap pelarangan jilbab. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara dapat terkikis jika dianggap tidak konsisten dalam menegakkan nilai-nilai kebangsaan dan toleransi. Jika pelarangan jilbab dianggap sebagai bentuk diskriminasi, maka dapat berpotensi melanggar hukum yang berlaku.

   Pihak yang mendukung larangan berargumen bahwa negara harus bersikap netral terhadap agama. Penggunaan atribut keagamaan dalam konteks resmi seperti upacara bendera, menurut mereka, dapat ditafsirkan sebagai bentuk diskriminasi terhadap pemeluk agama lain. Pihak BPIP berpendapat bahwa penangguhan penggunaan jilbab saat pengukuhan bertujuan untuk menjaga keseragaman dan kedisiplinan dalam organisasi Paskibraka. Mereka beranggapan bahwa perbedaan atribut dapat mengganggu kekompakan dan citra kesatuan bangsa (uniformitas yang tidak proporsional). Polemik ini tentu memunculkan perdebatan mengenai interpretasi Pancasila. Sebagian pihak berpendapat bahwa larangan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila pertama yang menjunjung tinggi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara itu, pihak lain berargumen bahwa larangan tersebut justru sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, terutama dalam konteks menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Indonesia sebagai negara dengan keberagaman yang tinggi menuntut adanya mekanisme pengelolaan perbedaan yang dinamis. Setiap kebijakan harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak dan tidak boleh mengorbankan hak-hak kelompok minoritas. Pancasila sebagai dasar negara memiliki interpretasi yang beragam. Perbedaan interpretasi ini seringkali menjadi sumber konflik. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan publik yang tidak boleh lepas dari konteks sosial budaya yang berlaku. Dalam konteks Indonesia, agama memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Kebijakan yang berkaitan dengan agama harus sangat hati-hati. Kekecewaan nampak dari pandangan ketua MUI yang menyarankan kepada anggota paskibra muslimah menarik diri karena jangan sampai niat hati untuk memperingati hari kemerdekaan namun, tidak merdeka dalam pertanggungjawaban di sisi Allah SWT. Nilai-nilai toleransi dan saling menghormati harus menjadi dasar dalam menyelesaikan perbedaan pendapat. Setiap individu berhak untuk mempertahankan keyakinannya, tetapi juga harus menghormati keyakinan orang lain.

Wallahul Musta’an

Kesimpulan

 Kasus pelarangan jilbab purna paskibraka Indonesia menyoroti kompleksitas isu identitas, toleransi, dan hak asasi manusia dalam konteks negara yang plural. Pelarangan jilbab purna paskibraka menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan bersama dan hak-hak individu dalam masyarakat yang plural. Pemerintah dan seluruh komponen masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan menghormati keberagaman. Solusi yang ideal adalah yang mampu mengakomodasi hak-hak semua pihak tanpa mengorbankan nilai-nilai kebangsaan. Polemik jilbab Paskibraka menyadarkan kita akan pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan bersama, antara kebebasan beragama dan prinsip netralitas negara. Bukan menunggu viral lantas baru meminta maaf!

Buktikan Indonesia bukan hasil dikte koloni #noviral_nojustice #independenceday


Penulis: Fian Anawagis (Mahasiswa Pascasarjana UH)