Pernikahan dalam Cengkraman Materialisme

 

(Pic. Kaskus: Tumming dan Abu Bioskop)

     Pernikahan sejak zaman dahulu, dipandang sebagai ikatan suci yang menyatukan dua jiwa. Sebagai simbol ikatan suci antara dua individu, seringkali dipandang sebagai puncak dari sebuah hubungan. Namun, dalam dinamika sosial yang semakin kompleks, nilai-nilai sakral dari pernikahan seringkali terkikis oleh pengaruh materialisme. Salah satu manifestasi paling mencolok dari fenomena ini adalah praktik permintaan panai (uang belanja) yang semakin melambung tinggi dan berlebihan telah menodai kesakralan institusi ini. Alih-alih menjadi perayaan cinta dan komitmen, pernikahan seakan-akan berubah menjadi transaksi komersial yang merendahkan martabat perempuan dan kian mengaburkan esensi sejati dari pernikahan. dalam konteks masyarakat modern, khususnya di beberapa daerah tertentu, nilai-nilai kesakralan pernikahan ini sudah ternodai oleh praktik-praktik yang berbau materialistik akibat gengsi publik dan perolehan prestise. Praktik ini, jika tidak dikaji secara kritis dapat memunculkan persepsi yang keliru seolah-olah pernikahan hanyalah sebuah transaksi jual beli, di mana wanita menjadi komoditas yang diperdagangkan.

Komersialisasi Pernikahan: benarkah Perempuan telah menjadi Komoditas?

      Beberapa contoh dari praktik yang kian marak dinormalisasi sebagai kewajaran komponen pelengkap seremoni pernikahan ini adalah Wedding Organizer (WO) dan panai’. Nominal yang cukup mahal dapat menciptakan persepsi bahwa wanita adalah sebuah komoditas yang memiliki harga. Hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai kesetaraan gender dan martabat manusia. Istilah Wedding Organizer (WO) dan panai telah mengalami pengaburan teritorial (bias persepsi) dari tradisi yang telah ada sejak lama dalam beberapa budaya lokal yang beradat. WO merupakan penyedia fasilitas/jasa dalam industri pernikahan yang telah dikembangkan sejak beberapa dekade terakhir dengan mengadopsi beberapa budaya asing didalam pelaksanaanya. Dalam persepsi umum orang yang 'berada', hal tersebut menunjukkan sebuah prestise bahwa pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai tanda keseriusan dalam menjalin hubungan, sementara panai adalah biaya yang wajib diberikan kepada pihak perempuan. Namun, seiring berjalannya waktu, nilai WO dan panai terus meningkat secara signifikan hingga mencapai angka yang fantastis. Sebenarnya jika merujuk pada sejarah pada masa kolonial, yang pada saat itu wanita pribumi dari keluarga beradat sangat dijaga secara ketat. Karena datangnya koloni penjajah, orang tua dari perempuan tersebut sengaja meninggikan nominal uang Panai agar penjajah tersebut enggan menyentuh/mengusik kehormatan serta kesucian perempuan khususnya di Bugis dan Makassar karena ingin menyatukannya dengan lelaki beradat dalam stratifikasi sosial yang sama. Pemaknaan derajat sekarang kini telah berubah sebab dahulu masih menganut sistem kerajaan, yang otomatis feodalisme dan pandangan anak darah murni di agung-agungkan. Untuk sekarang derajat seseorang dilihat dari beberapa sudut pandang seperti prestise jabatan orang tuanya, pendidikan anaknya tingkat 'S' berapa, profesinya apa dan sebagainya.

     Seiring berjalannya waktu, pergeseran budaya, baik persepsi maupun praktik tak bisa dipungkiri adanya. Mayoritas, pemuda rela meninggalkan kampung halaman mengadu nasib diperantauan sebagai jalan untuk meminang kekasih. Bahkan, ditengah berjalannya per'bucinan' dan komitmen, tak jarang beberapa diantaranya, harus menelan pahit liurnya, tatkala mendapat pesan via WA di siang hari dari kekasihnya seperti berita tempo hari yang sempat viral di sosial media, "maaf daeng dijodohkanma, lambatki datang". Seketika raga yang sehat tiba-tiba ikut sakit karena sugesti jiwa yang kecewa. Stimulus tersebutlah yang kadang membuat seseorang bertindak sesuatu yang tidak diinginkan. Semisal kita ambil contoh dari jajaran Top-down. Kasus korupsi 271 T oleh sepasang kekasih publik figur yang rela memanfaatkan hal tersebut untuk terlihat tampil mewah dalam perhelatan akbar pernikahannya di luar negeri (itu contoh besarnya).

   Pengaruh global yang dikemas dalam bahasa 'modernisasi' telah menciderai adat istiadat dengan hal-hal yang berbau material dan pola fikir konsumtif. Hal ini menimbulkan sejumlah permasalahan serius. Pertama, WO sebagai salah satu elemen penyebab panai yang mahal dapat menjadi beban finansial yang berat bagi keluarga pihak laki-laki 'dengan skala ekonomi menengah kebawah'. Banyak pasangan muda yang menunda pernikahan atau bahkan batal menikah karena tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut disisi lain janur kuning yang melengkung akibat disalib dari kiri (bahasa kias). Kedua, praktik ini menciptakan persepsi bahwa perempuan adalah komoditas yang dapat dibeli dengan uang. Hal ini merendahkan martabat perempuan dan melanggar prinsip kesetaraan gender. Ketiga, WO dan panai yang berlebihan dapat memicu konflik sosial seperti imbas kejadian kawin lari yang dalam bahasa Makassar (silariang), hamil duluan, terutama di kalangan masyarakat yang kurang mampu.

     Ketika WO dan panai menjadi fokus utama dalam sebuah pernikahan, maka nilai-nilai spiritual dan sosial dari pernikahan itu sendiri menjadi terpinggirkan. Pernikahan lebih dipandang sebagai ajang pamer (prestise) kekayaan daripada sebagai perayaan cinta dan komitmen. Meminjam istilah Lévi-Strauss (1973) dalam melihat WO dan panai sebagai bagian dari sistem pertukaran yang lebih luas dalam masyarakat. WO dan panai merupakan komoditas simbolis yang dipertukarkan untuk menciptakan aliansi sosial. Ketika nilai WO dan panai menjadi terlalu tinggi, sistem pertukaran ini menjadi tidak seimbang, dan aliansi sosial yang terbentuk pun menjadi rapuh. Sehingga menurut Julia Cristepa akan terjadi abjeksi moral atau ketidakmampuan membedakan antara yang maslahat (Haq) dan mudarat (Batil). Sebenarnya jika dimaknai sebagai 'proses' maka hal yang menjadi patokan tersebut merupakan sebuah motivasi langkah perjuangan lelaki yang memiliki makna simbolis yang mendalam, yaitu sebagai bentuk penghargaan terhadap wanita dan keluarganya, serta sebagai simbol komitmen dalam membangun rumah tangga. Namun jika disederhanakan, syarat sah pernikahan dalam Islam itu tidak terlampau rumit. Dengan adanya ijab kabul, wali, dua orang saksi, dan mahar pernikahan sudah dapat dilangsungkan dengan khidmat. Uang panaik hanyalah tambahan adat yang tidak wajib secara syariat. Juga bukankah lebih baik menyimpan hasil tabungan untuk peruntukan yang lebih jelas kedepannya?, seperti berinvestasi pada modal pendidikan anak misalnya.

     Keadaan inflasi yang meningkat mengakibatkan disrupsi dan mempengaruhi semua institusi. Beberapa orang panik akan hari esok. Kebutuhan industri telah mencekoki pola fikir di beberapa daerah, dan membuat nilai WO dan panai ikut dikomersilkan dengan brutal dan mencapai angka yang fantastis, jauh di atas kemampuan ekonomi rata-rata masyarakat. Istilah yang monohok dari beberapa orang tua mengutarakan dua variabel yang sebenarnya tidak saling berkaitan. Seperti misalnya: “kukasi sekola anakku tinggi-tinggi berarti pahammako”. Pertanyaannya, apakah salah satu tujuan untuk menyekolahkan anak gadis adalah untuk meningkatkan, mohon maaf “uang Panai”? Bukankah menyekolahkan anak itu tujuan mulia orang tua agar generasi kedepan menjadi berbudi pekerti luhur dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan? Meskipun tidak semua orang tua memiliki pola pikir yang demikian. Satu juga yang harus dicangkam bahwa, negosiasi awal sesuai adat istiadat mengenai keterjaminan anak itu sudah menjadi kewajiban bagi calon mempelai pria dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab dunia akhirat seperti dalam sakralisasi beban ijab qabulnya kelak. Wallahualambisshowab.

Perempuan sebagai Objek: Pelanggaran Hak Asasi Manusia?

     Perkawinan anak yang disebabkan oleh tekanan yang tinggi merupakan pelanggaran terhadap hak asasi anak. Pandangan yang cenderung menempatkan perempuan seolah sebagai “barang” yang dapat dibeli dengan uang panai yang tinggi adalah bentuk dehumanisasi yang sangat memprihatinkan. Prof Halilintar seorang budayawan senior dalam sebuah dialog menegaskan bahwa, panai yang terlampau tinggi adalah sesuatu yang memalukan. Perempuan tidaklah sekadar objek transaksi, melainkan individu yang memiliki hak dan martabat yang sama dengan laki-laki. Dengan menjadikan uang panai sebagai syarat utama pernikahan, seakan-akan menempatkan perempuan pada posisi yang inferior, seolah-olah mereka adalah komoditas yang dapat diperjualbelikan.

     Selain itu, praktik mahar yang terlalu tinggi juga dapat menimbulkan berbagai masalah sosial lainnya. Banyak keluarga calon pengantin yang terbebani secara finansial untuk memenuhi tuntutan uang panai yang tidak masuk akal. Hal ini dapat menyebabkan penundaan pernikahan, bahkan perjodohan yang tidak diinginkan, hanya untuk mendapatkan uang panai yang cukup. Dalam konteks yang lebih luas, praktik ini juga dapat memperlebar jurang kesenjangan sosial, karena hanya keluarga yang mampu secara finansial yang dapat menikahkan anak perempuan mereka dengan layak.

Mengembalikan Marwah, Budaya dengan Idealitas Pernikahan

WO dan panai yang mahal dapat menjadi momok beban sosial dan ekonomi bagi keluarga kedua belah pihak “ekonomi menengah kebawah”. Hal ini dapat memicu masalah sosial lainnya. Pada umumnya, nilai WO dan panai yang tinggi dapat menjadi beban ekonomi yang berat bagi kedua belah pihak, terutama bagi keluarga calon pengantin pria. Korupsi nilai-nilai budaya, yang sudah menyimpang dari makna aslinya dapat merusak esensi budaya yang luhur. Jika dengan sederhana bisa berbahagia, kenapa harus memaksakan diri agar terlihat mewah?. Bukankah pernikahan adalah momentum sekali seumur hidup yang dijalani oleh sepasang kekasih yang saling mencintai dan menyayangi untuk masing-masing menyempurnakan sebagian iman. Sehingga untuk mengembalikan kesakralan pernikahan, diperlukan upaya bersama dari seluruh lapisan masyarakat. Pertama, perlu adanya perubahan paradigma tentang makna pernikahan. Pernikahan bukanlah sekadar pertukaran materi, melainkan ikatan cinta, kasih sayang, dan komitmen yang dibangun di atas dasar saling menghormati dan menghargai. Kedua, masyarakat perlu secara aktif menolak praktik patokan harga yang terlalu tinggi dan mendorong nilai-nilai kesederhanaan dalam pernikahan. Ketiga, pemerintah perlu membuat regulasi yang jelas dan tegas terkait batas maksimal uang panai, serta memberikan sanksi bagi pihak-pihak yang melanggarnya. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak. Masyarakat perlu mengubah mindset dan tidak lagi menjadikan WO dan panai sebagai tolok ukur keberhasilan sebuah pernikahan. Keempat, lembaga agama perlu berperan aktif dalam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang makna sebenarnya dari pernikahan dan kesadaran kolektif bahwa pernikahan bukanlah transaksi komersial. MUI yang telah bekerjasama dengan Kantor Kementerian Agama (Kemenag) untuk mendukung upaya studi tiru yang menjadi inspirasi dari Baznas Selayar. Nur Aswar Badulu, Kepala Kantor Kemenag, menyatakan “bahwa Uang Panai' merupakan budaya dan tradisi dalam masyarakat berdasarkan status dan strata sosial. Oleh karena itu, penting untuk mengacu pada ketentuan agama dalam mengatur Uang Panai', mengingat aturan ini tidak berlaku di seluruh Indonesia. Uang panai itu sendiri merupakan hal yang mubah dan tidak menyalahi syariah, prinsip syariah itu sendiri bagaimana memudahkan nikah dan tidak memberatkan bagi calon pengantin" (Kemenag Sulsel).

     Paradigma yang menempatkan cinta, komitmen, dan kesejahteraan bersama sebagai prioritas utama. Kesakralan pernikahan tidak boleh diukur dengan nilai materi. nilai-nilai yang terkandung di dalamnya harus selalu dijaga. Jika praktik WO dan panai sebagai komponen dalam pernikahan yang mesti dilengkapi terus dibiarkan tanpa adanya kontrol, maka nilai-nilai kesetaraan gender dan martabat manusia akan terus terancam. Praktik uang panai yang terlalu tinggi merupakan ancaman serius terhadap kesakralan pernikahan. Dengan mengembalikan fokus pada nilai-nilai spiritual dan sosial dari pernikahan, kita dapat membangun keluarga yang harmonis dan masyarakat yang lebih adil. Perempuan harus dilihat sebagai mitra sejajar dalam membangun rumah tangga, bukan sebagai objek yang dapat diperjualbelikan. Mari bersama-sama kita melawan praktik-praktik yang merendahkan martabat perempuan dan merusak tatanan sosial kita.*


Penulis: 

*Fian Anawagis (Mahasiswa Magister Antropologi Universitas Hasanuddin)