Memakai Kacamata Marx: Sejarah Berulang, yang Pertama Sebagai Tragedi yang Kedua Sebagai Komedi dalam Realitas Indonesia Kini

 


    Dewasa ini, masyarakat telah disuguhi dua berita yang cukup menggelitik, bahkan cenderung membingungkan. Pertama, seorang hacker yang membobol situs Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) justru merasa kasihan dengan pemerintah. Kedua, isu anggaran makan siang gratis untuk anak sekolah yang diturunkan drastis, hampir setengah dari anggaran sebelumnya. Dua peristiwa ini, jika digabungkan, melahirkan pertanyaan besar: apakah negara kita ini negara komedi?

   Mari kita ulik lebih dalam. Di satu sisi, kita diterpa kabar ada seorang hacker yang dengan mudahnya menembus situs milik Kominfo, institusi yang bertanggung jawab atas keamanan siber di negara ini. Alih-alih marah atau kesal, sang hacker justru merasa kasihan setelah menyandera akun keamanan Kominfo dengan sandi Admin1234. Katanya, sistem keamanan Kominfo sangatlah lemah dan perlu diperbaiki. Pertanyaannya, bagaimana mungkin institusi sekelas Kominfo memiliki sistem keamanan yang begitu rapuh? Apakah ini kelucuan yang tidak disengaja, atau memang skenario yang dibuat-buat?

   Di sisi lain, kita dihadapkan pada ironi anggaran makan siang gratis untuk anak sekolah. Anggaran yang semula fantastis, kini dipotong hampir setengahnya. Alasannya, untuk penghematan anggaran. Sungguh mulia, bukan? Namun, benarkah penghematan ini demi rakyat? Atau hanya cara untuk menenangkan publik yang geram dengan gaya hidup mewah para wakil rakyat?

   Dua peristiwa ini, jika dilihat secara terpisah, mungkin hanya lelucon kecil. Tapi, jika digabungkan, mereka melukiskan gambaran yang memprihatinkan. Negara kita, yang seharusnya menjunjung tinggi keamanan dan keadilan, malah terkesan seperti arena komedi satir. Di mana sistem keamanan mudah dibobol, dan para wakil rakyat cenderung lebih peduli dengan perut mereka daripada nasib rakyat.

    Apakah ini lucu? Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya lelucon ringan. Tapi, bagi yang lain, ini adalah tragedi komedi yang memalukan. Negara kita, yang kaya akan potensi, malah terjebak dalam lingkaran komedi satir yang tak berujung.

   Pertanyaannya, sampai kapan komedi ini akan terus berlangsung? Apakah kita akan terus menertawakan kebodohan dan ketimpangan yang ada? Atau, akankah kita bangkit dan menuntut perubahan yang lebih baik? Jawabannya ada di tangan kita. Kita bisa memilih untuk terus terjebak dalam komedi satir ini, atau kita bisa memilih untuk menjadi aktor utama dalam perubahan yang kita impikan.

   Negara kita bukan dan tidak boleh menjadi negara komedi. Kita berhak atas negara yang serius, negara yang menjunjung tinggi keamanan, keadilan, dan kesejahteraan rakyatnya. Saatnya kita berupaya hentikan komedi ini dan mulai menulis babak baru yang lebih gemilang untuk bangsa kita.*


Penulis: *Fian Anawagis (Mahasiswa Magister Antropologi Unhas)