Melirik Peluang Komoditas Menjanjikan: Antara Geliat Pariwisata, Holtikultura dan Keberlanjutan Alam di Tiga Dataran Tinggi Sulawesi Selatan (Studi Kasus Lannying, Malino, dan Latimojong)

 

(Pertanian dataran tinggi)

   Pada umumnya, Sulawesi Selatan dihiasi dengan gugusan pegunungan dengan dataran tinggi yang memukau, menyimpan potensi luar biasa dalam pemenuhan sumber daya alam dengan beberapa budaya gotong royong masyarakat yang masih eksis. Tiga lokasi yang menjadi fokus penulis disini meliputi pengamatan langsung daerah perkebunan di sekitar lembah Latimojong (Enrekang), perkebunan Malino lembah Bawakaraeng (Gowa), dan area Lannying (Bantaeng) yang dekat dengan lembah Lompobattang menawarkan lensa etnografi untuk memahami bagaimana praktik pertanian lokal, diambang dengan geliat pariwisata, memengaruhi iklim alam, pola pikir konsumerisme, dan modernisme.

Enrekang: Kearifan Lokal dan Pertanian Ramah Lingkungan

   Di Enrekang, kearifan lokal masyarakat menuntun praktik pertanian berkelanjutan. Sistem terasering dan irigasi tradisional, diwariskan turun-temurun, menjaga kesuburan tanah dan meminimalisir erosi. Tanaman padi varietas lokal, tahan hama dan penyakit, ditanam dengan tidak terlalu bergantung pada pupuk kimia, menghasilkan beras organik berkualitas tinggi. Bahkan dahulu, masyakarat dominan menggunakan kerbau untuk membajak sawah. Namun disisi lain, pertanian bawang yang menurut Masyarakat menjanjikan, telah mengubah pola fikir dan penggunaan/ketergantungan pada bahan kimia seperti pupuk dan pestisida berlebihan. Kearifan lokal ini, seiring berjalannya waktu telah dipadukan dengan agrowisata, invasi lahan kopi juga membuka peluang baru bagi petani mengundang pengunjung menikmati keindahan alam dan budaya masyarakat setempat. Namun dibalik itu terdapat ancaman serius dari faktor eksternal yang ingin mengganggu stabilitas ekosistem di Latimojong dengan melakukan tindakan eksploitatif.

Malino: Keindahan Alam dan Pertanian yang Mendukung Pariwisata

    Malino, terkenal dengan udaranya yang sejuk dan pemandangannya yang indah, menjadi primadona wisata alam. Di balik panorama memukau, terdapat hamparan kebun sayur dan buah yang dikelola masyarakat setempat. Penginapan yang dikomodifikasi oleh mayoritas pemilik luar dan pertanian terintegrasi dengan pariwisata, menghasilkan produk segar yang diolah menjadi hidangan lezat di restoran dan kafe lokal. Wisatawan dimanjakan dengan kesegaran hasil bumi dan keramahan penduduk, sehingga terkesan menciptakan simbiosis mutualisme yang menguntungkan. Tak heran jika sebuah event besar setiap tahunnya diperingati di tempat ini (beautiful Malino). Namun dibalik itu perlu kesadaran dari pengunjung terhadap produksi sampah yang ditinggalkan setelah event berlalu bilamana pengurus lokal tak mampu membendung lonjakan sampah, maka akan menjadi jejak kelam yang ditinggalkan.

Bantaeng: Pertanian Modern dan Transformasi Sosial

    Di sebuah dataran tinggi Bantaeng, terdapat area dengan ketinggian sekitar +- 1300 mdpl dengan pertanian modern yang mulai berkembang, diiringi transformasi sosial. Penggunaan teknologi dan pupuk kimia meningkatkan hasil panen, namun menimbulkan kekhawatiran terhadap dampak lingkungan. Di sisi lain, pariwisata juga mulai membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat dataran tinggi. Interaksi dengan wisatawan membuka wawasan dan pola pikir baru, mendorong modernisasi dan konsumerisme. Beberapa petani sudah menerapkan sistem mempekerjakan petani dari luar kecamatan untuk menggarap lahannya yang luas.

Transformasi Sosial dan Upaya Menemukan Keseimbangan

  Teori dependensi dan teori modernisasi, menawarkan perspektif untuk memahami dampak transformasi di dataran tinggi ini. Teori dependensi menjelaskan bagaimana ketergantungan pada pariwisata dan pertanian modern dapat memicu eksploitasi sumber daya alam dan budaya. Di sisi lain, teori modernisasi melihat transformasi sebagai proses yang tak terelakkan, membawa perubahan positif seperti peningkatan taraf hidup dan akses terhadap teknologi. Ketiga lokasi ini mencerminkan dinamika antara tradisi dan modernitas, antara pertanian berkelanjutan dan pariwisata ataupun industri pertambangan. Tantangannya adalah menemukan keseimbangan yang memungkinkan pemanfaatan potensi alam dan budaya secara berkelanjutan, tanpa mengorbankan kearifan lokal dan kelestarian lingkungan. Peran penting di sini terletak pada edukasi dan pemberdayaan masyarakat, mendorong mereka untuk mengelola sumber daya dengan bijak dan memanfaatkan peluang pariwisata secara bertanggung jawab.

   Etnografi dataran tinggi Sulawesi Selatan ini membuka jendela untuk memahami kompleksitas interaksi antara manusia, alam, dan budaya. Dengan memahami dinamika ini, kita dapat merumuskan strategi pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif, mewariskan kekayaan alam dan budaya bagi generasi mendatang.


Penulis: *Fian Anawagis (Mahasiswa Magister Antropologi Universitas Hasanuddin)