Masakan Over Asin: Tanda Wanita Ingin Marriest?

(Ilustrasi AI)

     Di Indonesia, ada terminologi yang sering digaungkan bahwa masakan yang cenderung asin sering diidentikkan dengan orang yang segera ingin menikah. Hal ini sering dikaitkan dengan perempuan, terutama yang belum menikah. Ada beberapa alasan yang diajukan untuk menjelaskan yang menurut penulis lebih kepada mitos ini. Salah satu alasan yang paling umum adalah bahwa wanita yang belum menikah sering dianggap belum memiliki banyak pengalaman memasak. Karena kurang pengalaman, mereka sering keliru dalam menakar garam. Selain itu, ada juga yang percaya bahwa wanita yang ingin cepat menikah sering melamun tentang calon suaminya saat memasak. Hal ini membuat mereka tidak fokus dan akhirnya menambahkan terlalu banyak garam.

    Alasan lain yang diajukan adalah bahwa makanan asin dianggap sebagai simbol kesuburan. Dalam budaya Jawa, misalnya, garam sering digunakan dalam ritual pernikahan untuk melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Karena itu, ada yang percaya bahwa wanita yang memasak makanan dengan cenderung asin ingin segera menikah dan memiliki keturunan. Namun, terma tersebut tak selalu tepat, ada banyak orang yang memasak makanan asin tanpa ingin menikah. Ada juga orang yang memasak makanan asin karena memang suka rasa asin.

Sisi paradoks

     Makanan yang terlalu asin dalam dunia kesehatan dapat dianggap tidak enak dan berbahaya bagi kesehatan. Di sisi lain, makanan yang terlalu asin juga dapat dianggap sebagai simbol dari sesuatu yang lebih mendalam, seperti kekayaan, kemewahan, atau bahkan kekuasaan. Paradoksi ini yang kemudian menjadi daya tarik untuk membongkar mitos masakan yang terlalu asin diinterpretasikan secara filosofis untuk memahami dunia yang lebih baik.

    David Foster Wallacea dalam “The Salty Paradox”, menganalisis bagaimana makanan yang terlalu asin dapat dianggap sebagai simbol dari sesuatu yang lebih mendalam. Dia berpendapat bahwa makanan yang terlalu asin dapat mewakili keinginan manusia untuk mencari kesenangan yang berlebihan, bahkan jika kesenangan tersebut berbahaya bagi diri sendiri. Senada dengan Mark Kulansky dalam “The Philosophy of Salt”, yang membahas sejarah dan budaya dari makanan yang terlalu asin. Dia berpendapat bahwa makanan yang terlalu asin telah menjadi bagian penting dari budaya manusia selama berabad-abad. Dia juga berpendapat bahwa makanan yang terlalu asin dapat mewakili sesuatu yang lebih mendalam, seperti keinginan manusia untuk mencari kepuasan dan kesenangan. Tentu saja, makna filosofis yang dapat dikaitkan dengan makanan yang terlalu asin tergantung pada interpretasi masing-masing individu.

    Sehingga, arah mitos ini dapat dikritisi dari beberapa sisi. Pertama, mitos ini bersifat stereotip. Mitos ini hanya berlaku untuk perempuan, padahal ada juga laki-laki yang memasak makanan asin. Selain itu, mitos ini juga mengaitkan makanan asin dengan pernikahan, padahal ada banyak alasan lain mengapa seseorang memasak makanan asin. Kedua, mitos ini tidak memiliki dasar ilmiah. Tidak ada penelitian yang membuktikan bahwa ada hubungan antara makanan asin dan keinginan menikah. Mitos ini hanya didasarkan pada kepercayaan dan tradisi yang turun-temurun. Ketiga, mitos ini dapat menimbulkan dampak negatif. Mitos ini dapat membuat perempuan yang belum menikah merasa tertekan. Mereka merasa harus memasak makanan yang tidak asin agar tidak dianggap ingin menikah. Hal ini dapat menghambat mereka untuk mengeksplorasi dan mengembangkan kemampuan memasak mereka.



Penulis: Fian Anawagis (Mahasiswa Magister Antropologi UH)