Menapak Jejak Komunitas Towani Tolotang
Maret 21, 2024
Provinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Sidenreng Rappang, Kecamatan Tellu Limpoe, tepatnya di Kelurahan Amparita terdapat komunitas masyarakat yang disebut Towani Tolotang. Secara etimologi Towani Tolotang terdiri dari dua kata dalam bahasa Bugis " Towani" dan " Tolotang ".
Towani berasal dari kata To artinya orang dan wani adalh nama desa di Wajo, dengan demikian towani berarti orang yang berasal dari Desa Wani, tempat penganut kepercayaan tersebut berasal. Adapun kata Tolotng berasal dari kata To artinya orang dan lotang artinya selatan, dengan demikian tolotang berarti orah dari selatan. Towani Tolotang ialah orang yang berasal dari desa Wani yang tinggal di sebelah selatan.
Towani Tolotang adalah komunitas penganut kepercayaan asli Bugis yang bersumber pada ajaran yang diwariskan oleh leluhur mereka. Saat ini, Towani Tolotang eksis di Tanah Sidenreng yang terletak di Sulawesi Selatan, Indonesia. Mayoritas pnduduk di daerh ini ialah etnis Bugis dan menggunakan bahasa Bugis sebagai alat komunikasi sehari - hari, minoritas dari kelompok Tolotang memeluk kepercayaan lokal dengan cork animisme ( kepercayaan kepada roh ) yang mereka yakini yaitu kepercayaan kepada Dewata Seuwae ( Tuhan Yang Maha Esa ) yag berbeda dari mayoritas masyarakat.
Wilayah Wajo termasuk Desa Wani memiliki kepercayaan lokal yang mengakar sebelum agama Islam tiba di wilayah tersebut, kepercayaan ini memiliki tradisi dan praktik ritual tertentu. pada awal abad ke - 17, Wajo mengalami Islamisasi besar - besaran, hal ini terjadi atas kekalahan Kerajaan Wajo oleh Sultn Alauddin dari Gowa. Sultan Alauddin memperluas pengaruh Islam di wilayah tersebut melalui kekuasaan politik dengan penuh tekanan dan paksaan. Pada masa itu, pemimpin setempat Raja Wajo La Sungkuru Arung Matoa akhirnya memutuskan secara resmi menganut agama Islam.
Uwa' Samang mengungkapkan bahwa : "Sebenarnya kami tidak diusir, melainkan kami memtuskan izin meninggalkan kampung halaman kami karena Raja Wajo lah yang tidak memberikan kebebasan untuk melakukan adat dan ritual kami. Bukannya kami tidak mu menerima Islam, cuma kami dilarang melaksakan adat kami".
Raja Wajo kemudian memerintahkan seluruh penduduknya memeluk agama Islam dan melrang warganya melaksanakan tradisi mereka.Kebijakan itupun ditolak oleh sekelompok orang yaang tidak ingin meninggalkan tradisi ataupun adat mereka, pada ahirnya mereka memutuskan izin meninggalkan kampung halamannya dibawah pimpinan I Goliga dan I Pabbere.
setelah meninggalkan Wajo pada tahun 1516, kelompok yang dipimpin I Goliga pergi menuju ke daerah Bacukiki yang sekarang masuk dalam wilayah pemerintahan Kota Pare - Pare dan menetap hingga i meninggal dunia dan dimakamkan disana. sementara kelompok yang dipimpin I Pabbere pergi menuju ke arah barat tanpa tujuan yang pasti.
Sepanjang perjalanan, kelompok Tolotang melewati sungai dan berjalan menyususri penggirian utara danau Sidenreng. Mereka berhenti disuatu lembah persawahan sekitar 3 km sebelah utara Ampaarita untuk beristirahat, tempat ini kemudia dinamai tettong yang berrarti berdiri. Setelah itu , mereka melanjutkan perjalanaan dan akhirnya tiba di wilayah Kerajaan Sidenreng.
Setelah Raja Sidenreng La Patiroi memahami maksud pendatang itu, baginda kemudia megizinkan mereka tinggal dalam wilayah Kerajaan Sidenreng dengan beberapa persyaratan, di tanah Sidenreng mereka membuat perjanjia yang disebut " ade' puronrona Sidenreng " prinsip pentingyang harus dipatuhi oleh pendatang Tolotang, isi pokoknya yaitu adat harus dihormati, keputusan harus ditaati, janji harus ditepati, keputusan yang telahh ada harus dihargai, dan agama harus ditegakkan. Setelah perjanjian ini disepakati, akhirnya pendatang tersebut tinggal di wilayah Kerajaan Sidenreng dan mereka di panggil Towani Tolotang. Raja Sidenreng La Patiroi memberikan nama Tolotang kepada pendatang tersebut berdasaran lokasi tempat mereka tinga, di sebelah selatan pasar kurang lebih 3 km sebelah selatan Amparita. Panggilan " ollirengnga tolotange ri pasae" diberikan oleh Raja yang berarti " panggil mereka yang disebelah selatan pasar itu ".
Uwa' Samang, seorang tokoh masyarakat mengatakan : " Raja Sidenreng memberi nama Tololang dengan panggilan ollirengnga tolotange ri pasae" panggilan ini digunakan untuk mengidentifikasi kelompok pendatang yang membedakannya dari masyarakat yang tingggal di wilayah Sidenreng. Kediaman awal pendatang Tolotang disebut " loka pappang" yang berarti " susah dan lapar " karena sulit memperoleh air dan kondisi lingkungan yang keras. Namun, setelah pengolahan tanah dan upaya keras, mereka berhasil dengan baik dalam mengatasi tantangan ini. kemudian nama tempat tersebut diubah menjadi "perrinyameng" , mengandung makna perri berarti " susah" dan nyameng berarti " senang " sehingga bermakna " bersusah - susah terlebih dahulu baru ersenang - senang kemudian." seiring berjalannya waktu, di tempat inilah leluhur Bugis Tolotang meninggal dunia dan dimakamkan disana. peristiwa pemakaman leluhur Tolotang I Pabbere di perrinyameng menjdi pusat persembahan tahunan Towani Tolotang.
Ketika mereka tinggal di perrinyameng, addatuang Sidenreng menyerahkan kepengurusannya kepada Arung Amparit untuk memimpin pendatang Tolotang. selanjutnya, mereka disuruh meninggalkan perrinyameng untuk pindah ke daerah A mparita tinggal bersama penduduk asli.
penamaan Towani Tolotang adalah gelar khas bagi orang yang tinggal di Amparita, Sidenreng Rappang untuk mengidentifikasi sekelompok orang yang memiliki ikatan budaya tertentu. terdapat lima keyakinan fundamental dalam ajaran kepercayaan Towani Tolotang yaitu : percaya adanya Dewata Seuwae, keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa, percaya adanya hari kiamat, meyakini adanya hari kiamat yang akan menandai berakhirnya kehidupan di dunia, percaya adanya Lino Paimeng, hari kemudian, meyakini adanya kehidupan kedua setelah terjadinya kiamat yang disebut akhirat,percaya adanya penerimaan wahyu dari Tuhan, percaya bahwa pesan atau whyu daru Tuhan diterima dan diikuti,percaya kepada Lontara sebagai kitab suci Tolotang yang digunakan dalam penyembahan kepada Dewata Seuwae.
sistem nilai dan budaya Tolotang diwariskan dalam bentuk lisan, komunitas inimempunyai kitab yang mereka sebut " appongenna tolotange" mengandung pesan - pesan leluhur yang tertuang dalam tulisan lontara sebagai kunci untuk melestarikan serta mewariskan ajaran dan budaya mereka. Komunitas Tolotang mempercayai sistem pewahyuan, La Panaungi adalah tokoh yang dipercaya membawa risalah yang menjadi cikal bakal kepercayaan Tolotang.
Dalam perspektif Tolotang, konsep Dewata Seuwae " dia yang tidak bebentuk tapi satu" menunjukkan Tuhan sebagai entitas tak terlht tidak dapat diwakili dalam bentuk fiisik. konsep ini fokus pada pewahyuan, merujuk pada tata cara leluhur mereka menerima pesan - pesan dalam membentuk keyakinan dan tata cara ritual keagamaan yang bersifat lisan dapat menggabungkan diri dengan spiritualitas dan keyakinan mereka.
terlihat Towani Tolotang hidup bersama penduduk asli Bugis Sidenreng, komunitas ini tersebuar di beberapa daerah Sulawesi Selatan yakni berada di Sidenreng Rappang Wajo, Pinrang dan Pare - Pare. populasi Tolotang di Sidenreng Rappang menempati kehadiran yang signifikan, menjadi pusat perkembangan dan kegiatan adat mereka. Fakta bahwa pemimpin tertinggi komunitas ini berada di Sidenreng Rappang.
Berdasarkan temuan analisis hasil penelitian yang telah dilakukan oelh penulis, dapat disimpulkan bahwa asal usul komunitas kepecayaan asli Bugis Towani Tolotang berasala dari Wajo. pemimpinnya I Pabbere yang membawa kepercayaan ini hinggaa sampai di Tanah Sidenreng.
penulis : Muh Taufik
editor : Nun Mutmainnah